Minggu, 18 November 2012

Ushul Fiqh


Pendahuluan
Dalam pandangan Para ulama Ushul Fiqh mengklasifikasi lafaz (kata) dari segi pemakaiannya menjadi dua: hakikat (denotatif) dan majaz (konotatif). Mengenai kata dengan makna hakikat, tidak dipertentangkan lagi keberadaannya dalam Alquran. Kata yang seperti ini paling banyak ditemukan dalam Alquran. Adapun makna majāzi, keberadaannya dalam Alquran masih debatable di kalangan para ulama. Jumhur Ulama berpendapat kata dengan makna majaz terdapat dalam Alquran. Namun, segolongan ulama seperti mazhab ahiriyyah, Ibnu Qāis dari Syafi’iyyah, Ibnu Khuwaiz Mindad dari Malikiyyah, dan sebagainya tidak mengakui keberadaannya dalam Alquran. secara sederhana, hakikat dan sharih adalah kata yang menunjukkan makna asli/jelas, tidak ada indikator yang mendorong untuk menggunakan makna majaz, kināyah, atau tasybīh (yang tidah jelas). Kata tersebut mempunyai makna tegas tanpa dipengaruhi adanya pendahuluan (taqdīm) dan pengakhiran (ta’khīr) dalam susunannya.Dari penjelsan singkat di atas, penulis akan memaparkan pengertian hakikat dan majaz, pembagian majas, cara menentukan lafal hakikat/majaz, ketentuan yang berkaitan hakikiat/majas dan penyebab tidak berlakunya hakikat/majaz serta pengertian shari/kinayah.

    Sharih dan Kinayah
1.        Pengertian Sharih
Sharih adalah lafadz yang tidak memerlukan penjelasan. menurut abdul azhim bin badawi al-khalafi, bahwa yang dimaksud dengan sharih adalah suatu kalimat yang langsung dapat dipahami tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain.[25] 
Jadi bahwa lafal sharih adalah talak yang diucapkan dengan tegas yang perkataan tersebut bermaksud dan bertujuan menjatuhkan talak seperti kata talak atau cerai. Adapun Contoh lafaz yang Sharih diantaranya:
a.           Aku ceraikan kau dengan talak satu.
b.           Aku telah melepaskan (menjatuhkan) talak untuk engkau.
c.           Hari ini aku ceraikan kau
Jika suami melafazkan talak dengan mengunakan kalimah yang "Sharih" seumpama di atas ini, maka talak dikira jatuh walaupun tanpa niat. Hal ini, senada dengan pendapat imam Syafi’i dan Abu Hanifah, beliau berkata bahwa talak sharih tidak membutuhkan niat.[26]  Selain itu, Jumhur Ulama’ sepakat berpendapat bahwa Talak yang sharih ialah lafaz yang jelas dari segi maknanya dan kebiasaannya membawa arti talak. Contohnya, seorang suami berkata kepada isterinya, “Saya ceraikan engkau”.[27]  Lafaz tersebut memberi kesan jatuh talak walaupun tanpa niat.
Sebagaimana pendapat para ulama diatas, bahwa yang dikatakan talak sharih didalam pengucapanya terdapat tiga perkataan seperti halnya yang disebutkan oleh Imam Syafi’i dan segolongan fuqaha Dzahiri. Diantaranya adalah talak (cerai), firaq (pisah), sarah (lepas). Maka apabila seorang suami megucapkan salah satu dari ketiga kata tersebut maka jatuhlah talak terhadap istrinya.[28] 

2.        Pengertian Kinayah
Kinayah adalah lafadz yang memerlukan penjelasan. Menurut Jumhur Ulama  kinayah adalah suatu ucapan talak yang diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas atau melalui sindiran. Kata-kata tersebut dapat dikatakan lain, seperti ucapan suami “pulanglah kamu”.[29]  Sementara Kinayah pula membawa maksud kalimah yang secara tidak langsung yang mempunyai dua atau lebih pengertiannya. Umpamanya jika suami melafazkan kepada isterinya perkataan, sebagai contah kinayah sebagai berikut:
a.         Kau boleh pulang ke rumah orang tua mu.
b.         Pergilah engkau dari sini, ke mana engkau suka.
c.         Kita berdua sudah tidak ada hubungan lagi. 
Mengenai talak kinayah ini, para ulama tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai akibat hukumnya, diantaranya pendapat-pendapat yang diungkapkan para ulama seperti halnya Mazhab Hanbali mereka berpendapat bahwa talak dengan ucapan kinayah sekiranya suami melafazkan kepada isterinya dengan niat menceraikannya maka jatuh talak. Selain itu Jumhur Ulama berpendapat bahwa ucapan talak kinayah akan jatuh talaknya apabila dengan adanya niat.[30] 
Talak dengan cara kinayah tidak jatuh kecuali dengan niat seperti yang diterangkan di atas, kecuali apabila seorang suami dengan tegas mentalak tetapi ia berkata: saya tidak berniat dan tidak bermaksud mentalak, maka talaknya tetap jatuh.[31]  Apabila seorang menjatuhkan talak secara kinayah tanpa maksud mentalak maka tidak jatuh talaknya, karena kinayah memiliki arti ganda (makna talak dan selain talak), dan yang dapat membedakanya hanya niat dan tujuan.
Ibnu Taimiyah r.a berpendapat bahwa talak tidak berlaku kecuali dia menghendakinya.[32]  Beliau berargumen bahwa amal perbuatan dalam Islam tidak dinilai kecuali dengan adanya niat. Misalkan seseorang mengerjakan aktivitas shalat dari takbir sampai salam tetapi tidak meniatkan untuk shalat, maka shalatnya tidak sah.[33]  Contoh yang lain, seseorang melakukan sahur dan makan ketika maghrib, tetapi dia tidak niat untuk syiam (puasa), maka amal dia ini tidak dianggap sebagai amalan syiam. Orang duduk di masjid tanpa niat i'tikaf maka dia tidak bisa disebut melakukan ibadah i'tikaf.[34] 
C.      Kesimpulan
Secara etimologi, hakikat merupakan dari kata haqqa yang berarti tetap. Berarti ditetapkan Pengertian Hakikat adalah suatu lafas yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu. Pengertian Majaz adalah suatu lafad yang digunakan untuk menjelaskan suatu lafad pada selain makna yang tersurat di dalam nash atau teks.  Majaz Dari segi pembentukannya, bisa dibedakan menjadi 4 bagian: 1 Adapun tambahan dari susunan kata menerut bentuk yang sebenarnya. 2. Adanya kekurngan dalam suatu kata dari yang sebenarnya dan kebenaran dari lafas itu terletak pada yang kurang itu. 3. Mendahulukan dan membelakangkan atau dalam pengertian ,menukar kedudukan suatu kata. 4. Meminjamkan kata atau isti’arah adalah menambahkan sesuatu dengan menggunakan (peminjamkan) kata lain.
Untuk itu, pentinglah kiranya melakukan verifikasi apakah pembicara menggunakan makna majaz atau hakikat sehingga jelaslah perbedaan keduanya. Dalam mengatahui majaz dan hakikat dapat dilakukan dengan dua cara; normativitas teks atau istidlāl. Keterkaitan-keterkaitan yang menjadi syarat penggunaan Hakikat dan Majaz seperti: Adanya keserupaan,  menamakan atau memaknai suatu lafad sesuai, menamakan sesuatu sesuai dengan takwil, menamakan atau memaknai sesuatu sesuai dengan kekuatan, menjelaskan maksud suatu keadaan dengan menyebutkan tempatnya, dan menyebutkan sebab dari suatu hal. Namun dalam beberapa hal tidak digunakan kata bermakna hakikat dan majaz dalam keadaanantarala lain: Adanya petunjuk penggunaan secara ‘urfi dalam penggunaan lafaz, Adanya petunjuk lafaz, Adanya petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu ucapan, Adanya petunjuk dari sifat pembicara dan Adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan.  
Sharih adalah lafadz yang tidak memerlukan penjelasan. Jadi bahwa lafal sharih adalah talak yang diucapkan dengan tegas yang perkataan tersebut bermaksud dan bertujuan menjatuhkan talak seperti kata talak atau cerai. Disebutkan oleh Imam Syafi’i dan segolongan fuqaha Dzahiri Diantaranya lafal sharih adalah talak (cerai), firaq (pisah), sarah (lepas). Maka apabila seorang suami megucapkan salah satu dari ketiga kata tersebut maka jatuhlah talak terhadap istrinya. Kinayah adalah lafadz yang memerlukan penjelasan. Sementara Kinayah pula membawa maksud kalimah yang secara tidak langsung yang mempunyai dua atau lebih pengertiannya, seperti: Kau boleh pulang ke rumah orang tua mu. Apabila seorang menjatuhkan talak secara kinayah tanpa maksud mentalak maka tidak jatuh talaknya, karena kinayah memiliki arti ganda (makna talak dan selain talak), dan yang dapat membedakanya hanya niat dan tujuan, misalnya seseorang mengerjakan aktivitas shalat dari takbir sampai salam tetapi tidak meniatkan untuk shalat, maka shalatnya tidak sah.


DAFTAR PUSTAKA  

            Arufin Miftahul dan A. Faisal Haq. Ushul Fiqih : Kaidah-kaidah Pentapan Hukum Islam, Cet. I, Surabaya: Citra Media, 1997.
Bakry, Sidi Nasa, Fiqh dan Ushul Fiqh, Cet. IV, Jakarta: PT. RajaGrafindo Perseda, 2003.
Bakry, Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, Cet. IV, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.
            Djazuli A dan 1 Nurol Aen, Ushul Fiqh (Metode Hukum Islam), Cet. 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
Effendi, Satria, Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana2008.
 Karim, Syafi’i, Fiqih-Ushul Fiqih, Cet. II, Bandung: Pustaka Satia, 2001.
Syarifudin, Amir, Ushul Fiqih, Jilit 2, Cet. V, Jakatra: Kencana, 2008.


[24]  Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih......, h. 153.
[25]  Ibid. 
[26] Sidi Nasa Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Cet. IV, Jakarta: PT. RajaGrafindo Perseda,  2003, h. 115.
[27] Ibid., h. 121.
[28] Ibid.
[29] Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih......, h. 180.
[30]  A Djazuli dan 1 Nurol Aen, Ushul Fiqh (Metode Hukum Islam), Cet. 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000, h. 412.
[31] Ibid., h. 425.
[32]  Sidi Nasa Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh......, h. 131.
[33]  Ibid.
[34]  Ibid., h. 134.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda