Makalah Tasawuf
KEBEBASAN DAN TANGGUNGJAWAB SERTA HAK DAN KEWAJIBAN
Makalah
ini disusun untuk memenuhi syarat pada mata kuliah akhlak tasawuf
Disusun
oleh :
Falahul
Mualim Yusuf (1112051000087)
M.
Hamzah Hasbi (1112051000079)
Rifqi
Masruri (1112051000095)
JURUSAN
KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UIN SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
2012
Bab
I
Pendahuluan
Kebebasan, tanggung jawab,
hak, dan kewajiban merupakan nilai kodrat manusia yang diberikan tuhan, hal itu
dijadikan sebagai pondasi yang kuat. Dalam kajian akhlak tasawuf memberikan
beberapa poin-poin penting dari segi perspektif tasawuf .
Disadari bahwa makalah
ini masih banyak memiliki kekurangan, baik dari segi isinya, bahasa, analisis
dan lain sebagainya. Untuk itu saran, kritik dan perbaikan dari pembaca dengan
senang hati akan kami terima, diiringi dengan ucapan terima kasih.
Wassalamualaikum wr.wb.
Jakarta, 8
Oktober 2012
1. Pengertian
kebebasan
Di antara masalah yang menjadi bahan
perdebatan sengit dari sejak dahulu hingga sekarang adalah masalah kebebasan
atau kemerdekaan menyalurkan kehendak dan kemauan. Dalam permasalahan ini para
ahli teologi terbagi kepada dua kelompok. Pertama kelompok yang
berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak bebas dan merdeka untuk melakukan
perbuatannya menurut kemauannya sendiri. Kedua kelompok yang berpendapat
sebaliknya, manusia tidak memiliki kebebasan untuk melaksanakan perbuatannya
sendiri. Mereka dibatasi dan ditentukan oleh Tuhan. Dalam pandangan golongan
yang kedua ini manusia tak ubahnya seperti wayang yang mengikuti sepenuhnya
kemauan dalang.
Kebebasan
sebagaimana dikemukakan Ahmad Charris Zubair adalah terjadi apabila
kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh suatu paksaan dari
atau keterikatan kepada orang lain. Selain itu kebebasan meliputi segala macam
kegiatan manusia, yaitu kegiatan yang disadari, disengaja, dan dilakukan demi
suatu tujuan yang selanjutnya disebut tindakan. Namun bersamaan dengan itu
manusia juga memiliki keterbatasan atau dipaksa menerima apa adanya. Misalnya
keterbatasan dalam menentukan jenis kelaminnya, keterbatasan kesukuan kita, dan
sebagainya.
Dilihat
dari segi sifatnya, kebebasan terbagi tiga. Pertama, kebebasan jasmaniah, yaitu kebebasan dalam menggerakan
dan mempergunakan anggota badan yang kita miliki. Kedua, kebebasan
kehendak (rohaniah), yaitu kebebasan untuk menghendaki sesuatu. Ketiga, kebebasan
moral yang dalam arti luas berarti tidak adanya macam-macam ancaman, tekanan,
larangan dan lain desakan yang tidak sampai berupa paksaan fisik. Dan dalam
arti sempit berarti tidak adanya kewajiban, yaitu kebebasan berbuat apabila
terdapat kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak.
Paham
adanya kebebasan pada manusia ini sejalan pula dengan isyarat yang diberikan
al-Quran. Perhatikan ayat dibawah ini:
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4 !
Artinya: Dan Katakanlah kebenaran datang dari tuhan mu. Siapa
yang mau percayalah Ia, siapa yang mau janganlah ia percaya (QS.
Al-Kahfi, 18:29)
Ayat tadi dengan jelas memberi peluang
kepada manusia untuk secara bebas
menentukan tindakannya
berdasarkan kemauannya sendiri.
2.
Tanggung Jawab
Selanjutnya kebebasan sebagaimana
disebutkan diatas itu ditantang jika berhadapan dengan kewajiban moral. Sikap
moral yang dewasa adalah sikap bertanggung jawab. Tak mungkin ada tanggung
tanda ada kebebasan. Disinilah letak hubungan kebebasan dan tanggung
jawab.
Dalam
kerangka tanggung jawab ini, kebebasan mengandung arti: (1) Kemampuan untuk
menentukan dirinya sendiri. (2) Kemampuan untuk bertanggung jawab, (3)
Kedewasaan manusia, dan (4) Keseluruhan kondisi yang memungkinkan manusia
melakukan tujuan hidupnya.
Sejalan
dengan adanya kebebasan atau kesengajaan, orang harus bertanggung jawab
terhadap tindakannya yang disengaja itu. Ini berarti bahwa ia harus dapat
mengatakan dengan jujur kepada kata hati, bahwa tindakannya itu sesuai dengan
penerangan dan tuntutan kata hati itu.
Uraian
tersebut menunjukkan bahwa tanggung jawab erat kaitannya dengan kesengajaan
atau perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran.
3. Hak
A. Pengertian
dan Macam-macam Hak
Hak Dapat diartikan wewenang
atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan, memiliki,
meninggalkan, mempergunakan atau menuntut sesuatu. Hak juga dapat berarti
panggilan kepada kemauan orang lain dengan perantaraan akalnya, perlawanan
dengan kekuasaan atau kekuatan fisik untuk mengakui wewenang yang ada pada
pihak lain.[1]
Dalam
pada itu Poedjawijatna mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hak ialahsemacam milik, kepunyaan, yang tidak
hanya merupakan benda saja, melainkan pula tindakan, pikiran dan hasil pikiran
itu. Jika seseorang misalnya mempunyai hak atas sebidang tanah, maka ia
berwenang, berkuasa untuk bertindak atau memanfaatkan terhadap miliknya itu,
misalnya menjual, memberikan pada orang lain, mengolah dan sebagainya.
Selanjutnya
jika seseorang misalnya mempunyai hak mengarang, maka ia dapat berbuat semaunya
terhadap hasil karangannya itu dengan cara menjual, menyuruh cetak, menerbitkan
dan seterusnya.
Didalam
al-Qur’an kita jumpai juga kata al-haqq,
namun pengertiannya agak berbeda dengan pengertian hak yang dikemukakan diatas.
Jika pengertian hak diatas lebih mengacu kepada semacam hak memiliki, tetapi al-haqq dalam al-Qur’an bukan itu
artinya. Kata memiliki yang merupakan terjemahan dari kata hak tersebut diatas
dalam bahsa al-Qur’an disebut milik dan orang yang menguasainya disebut malik.
Pengertian
al-haqq dalam al-Qur’an sebagaimana
dikemukakan al-Raghib al-Asfahni adalah al-muthabaqah
wa al-muwafaqah artinya kecocokan, kesesuaian dan kesepakatan, seperti
cocoknya kaki pintu sebagai penyangganya.
Dalam
perkembangan selanjutnya kata al-haqq
dalam al-Qur’an digunakan untuk empat pengertian. Pertama, untuk menunjukkan terhadap pelaku yang mengadakan sesuatu
yang mengandung hikamah, seperti adanya Allah disebut sebagai al-haqq karena Dialah yang mengadakan
sesuatu yang mengandung hikmah dan nilai bagi kehidupan. Penggunaan al-haqq dalam arti yang demikian dapat
dijumpai pada contoh ayat yang berbunyi:
§NèO
(#ÿrâ
n<Î)
«!$#
ãNßg9s9öqtB
Èd,ysø9$#
Artinya: Kemudian kembalilah kamu sekalian kepada Allah. Dialah Tuhan mereka
yang haq. (QS. Al- An’am, 6:62)
Kedua,
kata al-haqq digunakan untuk
menunjukkan kepada sesuatu yang diadakan yang mengandung hikmah. Misalnya Allah
SWT. menjadikan matahari dan bulan dengan al-haqq, yakni mengandung hikmah bagi
kehidupan. Penggunaan kata al-haqq seperti ini dapat dijumpai misalnya pada
ayat yang berbunyi
$tB t,n=y{ ª!$# Ï9ºs wÎ) Èd,ysø9$$Î/
Artinya: Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. (QS.
Yunus, 10:5)
Ketiga, al-haqq
digunakan untuk menunjukkan keyakinan (i’tiqad) terhadap sesuatu yang cocok
dengan jiwanya, seperti keyakinan seseorang terhadap adanya kebangkitan
diakhirat, pahala, siksaan, surga dan neraka. Penggunaan kata al-haqq seperti
ini dapat dijumpai pada contoh ayat yang berbunyi
yygsù
ª!$#
úïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
$yJÏ9
(#qàÿn=tF÷z$#
ÏmÏù
z`ÏB
Èd,ysø9$#
Artinya: Maka
Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman terhadap apa yang mereka
perselisihkan dari haqq. (QS. Al-Baqarah, 2:213)
Keempat, kata
al-haqq digunakan untuk menunjukkan
terhadap perbuatan atau ucapan yang dilakukan menurut kadar atau porsi yang
seharusnya dilakukan sesuai keadaan waktu dan tempat. Penggunaan kata al-haqq yang demikian itu sejalan
deengan ayat yang berbunyi
Artinya: Dan
seandainya al-haqq itu menuruti hawa nafsunya, maka terjadilah kerusakan bumi
dan langit (QS. Al-Mu’minun, 23:71)
Selain
itu kata al-haqq dapat berarti upaya
mewujudkan keadilan, argumentasi yang kuat, menegakkan syari’at secara
sempurna, dan isyarat tentang adanya hari kiamat. Dengan demikian seluruh kata al-haqq terdapat dalam al-Qur’an tidak
ada satupun yang mengandung arti hak milik, sebagaimana aarti hak yang umumnya
lazim digunakan masyarakat.
Pengertian
hak dalam arti memiliki sesuatu dan dapat menggunakan sekehendak hatinya. Dalam
bahasa Arab dikenal dengan istilah al-milk.
Misalnya pada ayat yang berbunyi
(#räsªB$#ur
`ÏB
ÿ¾ÏmÏRrß
ZpygÏ9#uä
w
cqà)è=øs
$\«øx©
öNèdur
cqà)n=øä
wur
cqä3Î=ôJt
öNÎgÅ¡àÿRL{
#uÑ
wur
$YèøÿtR
wur
tbqä3Î=ôJt
$Y?öqtB
wur
Zo4quym
wur
#Yqà±èS
ÇÌÈ
Artinya: Kemudian
mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan
itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak Kuasa
untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk
mengambil) suatu kemanfaatanpun dan (juga) tidak Kuasa mematikan, menghidupkan
dan tidak (pula) membangkitkan. (QS, al-Furqan, 25:3)
Pada
ayat tersebut kata al-milk
dihubungkan dengan kemampuan untuk menolak kemudharatan dan mengambil manfaat.
1. Macam-macam
dan Sumber Hak
Memang ada
bermacam-macam hak, tidak sama luas dan kuatnya. Dalam pada itu selalu ada dua
faktor yang menyertainya. Pertama faktor yang merupakan hal (obyek) yang
dihakiki (dimiliki) yang selanjutnya disebut hak obyektif. Hak ini baik
bersifat fisik maupun non fisik. Kedua, faktor orang (subyek) yang berhak, yang
berwenang untuk bertindak menurut sifat-sifat itu, yang selanjutnya disebut hak
subyektif.
Dalam kajian akhlak,
tampaknya hak subyektiflah yang lebih mendapatkan perhatian, yaitu wewenang
bukan kekuatan, karena mungkin saja wewenang (hak) itu tak dapat dilaksanakan karena
ada kekuatan lain yang menghalanginya.
Dilihat dari segi obyek
dan hubungannya dengan akhlak, hak itu secara garis besar dapat dibagi menjadi
tujuh bagian, yaitu hak hidup, hak mendapatkan perlakuan hukum, hak
mengembangkam keturunan (hak kawin), hak milik, hak mendapatkan nama baik, hak
kebebasan berpikir dan hak mendapatkan kebenaran. Semua hak itu tidak dapat
diganggu guagat, karena merupakan hak asasi yang secara fitrah telah diberikan
Tuhan kepada manusia, karena yang dapat mencabut hak-hak tersebut hanya Tuhan.
Selanjutnya jika manusia dihukum, atau dirampas harta bendanya, dijajah dan
lain sebagainya, bisa saja dibenarkan jika yang bersangkutan melakukan
pelanggaran. Dan hal ini tidak berarti merampas hak orang lain.
Hak asasi manusia itu
dalam sejarah dan masyarakat sering diperlakukan secara diskriminatif. Terhadap
kelompok yang satu diberikan kebebasan untuk menyatakan pikiran dan melakukan
usahanya dibidang materi, sedangkan pada kelompok yang lainnya dibatasi dan
tidak diberikan peluang untuk berusaha. Berkenaan dengan ini maka pada tahun
1948 Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengeluarkan pernyataan kedua tentang
Hak-hak Asasi Manusia (Declaration of The
Human Right). Dalam pernyataan tersebut dikemukakan bahwa hak itu
berdasarkan atas kemanusiaan, dan kemanusiaan itu intinya bertumpu pada budi
pekerti. Pernyataan hak asasi ini dapat dikatakan merupakan kesadaran umat
mannusia terhadap nilai kemanusiaannya.
Dengan demikian adanya pernyataan tersebut memiliki misa pelaksanaan ajaran
moral dan akhlak. Dan disinilah letak hubungan pembahasan masalah hak-hak
manusia dengan akhlak.
Selanjutnya dalam
masyarakat yang teratur baik, hak asasi manusia itu dinyatakan dalam bentuk
undang-undang, yang biasanya merupakan aturan yang umum sekali untuk masyarakat
tertentu, baik masalah pidana maupun perdata. Bagi bangsa Indonesia misalnya
kita memiliki Undang Undang Dasar 1945 yang memuat 16 Bab dan 37 pasal. Isi
undang-undang yang berhububungan dengan hak asasi manusia, misalnya hak
bernegara, hak bersuara, berusaha, beragama, berpendidikan, perlakuan hukum dan
seterusnya. UUD 1945 ini dijiwai nilai-nilai Pancasila yang merupaka jiwa,
falsafah, sumber inspirasi dan sumber moral dalam hidup berbangsa dan
bernegara. Dengan demikian keberadaan Hak-hak asasi manusia yang tercermin
dalam UUD 1945 itu menggambarkan hubungan yang erat antara hak-hak asasi
manusia dengan ajaran moral.
4.
KEWAJIBAN
Oleh karena hak itu
merupakan wewenang, bukan berwujud kekuatan, maka perlu ada penegak hukum
melindungi yang lemah, yaitu orang yang tidak dapat melakukan haknya manakala
berhadapan dengan orang lain yang merintangi pelaksanaan haknya.
Selanjutnya karena hak
itu merupakan wewenang dan bukan kekuatan, maka ia merupakna tuntutan, dan terhadap
orang lain hakitu menimbulkan kewajiban, yaitu kewajiban menghormati
terlaksanannya hak-hak orang lain. Dengan cara demikian orang lain pun berbuat
yuang sama pada dirinya, dan dengan demikian akan terpeliharalah pelaksanaan
hak asasi manusia itu.
Dengan demikian masalah
kewajiban memegang peranan penting dalam pelaksanaan hak. Namun perlu
ditegaskan disini bahwa kewajiban disinipun bukan merupakan keharusan fisik,
tetapi tetap berwajib, yaitu wajib yang berdasarkan kemanusiaan, karena hak
yang merupakan sebab timbulnya kewajiban itu juga berdasarkan kemanusiaan.
Dengan demikian orang yang tidak memenuhi kewajibannya berarti telah memperkosa
kemanusiannya. Sebaliknya orang yang melaksanakan kewajiban berarti telah
melaksanakan sikap kemanusiaannya.
Di dalam ajaran Islam,
kewajiban ditempatkan sebagai salah satu hukum syara’, yaitu suatu perbuatan
yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan akan
mendapat siksa.[3]
Dengan kata lain bahwa kewajiban dalam agama berkaitan dengan pelaksanaan hak yang
diwajibkan oleh Allah. Melaksanakan shalat 5 waktu membayar zakat bagi orang
yang memiliki harta tertentu dan sampai batas nisab, dan berpuasa di bulan
Ramadhan misalnya adalah merupakan kewajiban.
5.
HUBUNGAN HAK DAN
KEWAJIBAN DENGAN AKHLAK
Sebagaimana telah
dikemukakan diatas bahwa yang disebut akhlak adalah perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja, mendarah daging, sebenarnya dan tulus ikhlas karena Allah.
Hubungan dengan hak dapat dilihat pada arti dari hak yaitu sebagai pemilik yang dapat digunakan oleh seseorang tanpa ada
yang dapat menghalanginya. Hak yang demikian itu merupakan bagian dari akhlak,
karena akhlak harus dilakukan oleh seseorang sebagai haknya.
Akhlak yang mendarah
daging itu kemudian menjadi bagian dari kepribadian seseorang yang dengannya
timbul kewajiban untuk melaksanakannya tanpa merasa berat. Sedangkan keadilan
sebagaimana telah diuraikan dalam teori pertengahan ternyata merupakan induk
akhlak. Dengan terlaksananya hak, kewajiban dan keadilan, maka dengan
sendirinya akan mendukung terciptanya perbuatan yang akhlaki. Disinilah letak
hubungan fungsional antara hak dan kewajiban dengan akhlak.
Daftar
Pustaka
Nata Abuddin, Ahlak
Tasawuf, Rajawali press, Jakarta 2010
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda