Ushul Fiqh
Pendahuluan
Dalam pandangan Para
ulama Ushul Fiqh mengklasifikasi lafaz (kata) dari segi pemakaiannya menjadi
dua: hakikat (denotatif) dan majaz (konotatif). Mengenai kata dengan makna
hakikat, tidak dipertentangkan lagi keberadaannya dalam Alquran. Kata yang
seperti ini paling banyak ditemukan dalam Alquran. Adapun makna majāzi,
keberadaannya dalam Alquran masih debatable di kalangan para ulama. Jumhur
Ulama berpendapat kata dengan makna majaz terdapat dalam Alquran. Namun,
segolongan ulama seperti mazhab Ẓahiriyyah, Ibnu Qāis dari Syafi’iyyah, Ibnu Khuwaiz Mindad dari
Malikiyyah, dan sebagainya tidak mengakui keberadaannya dalam Alquran. secara
sederhana, hakikat dan sharih adalah kata yang menunjukkan makna asli/jelas,
tidak ada indikator yang mendorong untuk menggunakan makna majaz, kināyah, atau
tasybīh (yang tidah jelas). Kata tersebut mempunyai makna tegas tanpa
dipengaruhi adanya pendahuluan (taqdīm) dan pengakhiran (ta’khīr) dalam
susunannya.Dari penjelsan singkat di atas, penulis akan memaparkan pengertian
hakikat dan majaz, pembagian majas, cara menentukan lafal hakikat/majaz,
ketentuan yang berkaitan hakikiat/majas dan penyebab tidak berlakunya
hakikat/majaz serta pengertian shari/kinayah.
Sharih dan Kinayah
Sharih dan Kinayah
1. Pengertian
Sharih
Sharih adalah lafadz yang
tidak memerlukan penjelasan. menurut abdul azhim bin badawi al-khalafi,
bahwa yang dimaksud dengan sharih adalah suatu kalimat yang langsung dapat
dipahami tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain.[25]
Jadi bahwa lafal sharih
adalah talak yang diucapkan dengan tegas yang perkataan tersebut bermaksud dan
bertujuan menjatuhkan talak seperti kata talak atau cerai. Adapun Contoh lafaz
yang Sharih diantaranya:
a. Aku
ceraikan kau dengan talak satu.
b. Aku
telah melepaskan (menjatuhkan) talak untuk engkau.
c. Hari
ini aku ceraikan kau
Jika
suami melafazkan talak dengan mengunakan kalimah yang "Sharih"
seumpama di atas ini, maka talak dikira jatuh walaupun tanpa niat. Hal ini,
senada dengan pendapat imam Syafi’i dan Abu Hanifah, beliau berkata bahwa talak
sharih tidak membutuhkan niat.[26]
Selain itu, Jumhur Ulama’ sepakat berpendapat bahwa Talak yang sharih ialah
lafaz yang jelas dari segi maknanya dan kebiasaannya membawa arti talak.
Contohnya, seorang suami berkata kepada isterinya, “Saya ceraikan engkau”.[27] Lafaz
tersebut memberi kesan jatuh talak walaupun tanpa niat.
Sebagaimana pendapat para ulama diatas, bahwa yang dikatakan talak sharih didalam pengucapanya terdapat tiga perkataan seperti halnya yang disebutkan oleh Imam Syafi’i dan segolongan fuqaha Dzahiri. Diantaranya adalah talak (cerai), firaq (pisah), sarah (lepas). Maka apabila seorang suami megucapkan salah satu dari ketiga kata tersebut maka jatuhlah talak terhadap istrinya.[28]
Sebagaimana pendapat para ulama diatas, bahwa yang dikatakan talak sharih didalam pengucapanya terdapat tiga perkataan seperti halnya yang disebutkan oleh Imam Syafi’i dan segolongan fuqaha Dzahiri. Diantaranya adalah talak (cerai), firaq (pisah), sarah (lepas). Maka apabila seorang suami megucapkan salah satu dari ketiga kata tersebut maka jatuhlah talak terhadap istrinya.[28]
2. Pengertian
Kinayah
Kinayah adalah lafadz yang
memerlukan penjelasan. Menurut Jumhur Ulama kinayah adalah
suatu ucapan talak yang diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas atau
melalui sindiran. Kata-kata tersebut dapat dikatakan lain, seperti ucapan suami
“pulanglah kamu”.[29] Sementara
Kinayah pula membawa maksud kalimah yang secara tidak langsung yang mempunyai
dua atau lebih pengertiannya. Umpamanya jika suami melafazkan kepada isterinya
perkataan, sebagai contah kinayah sebagai berikut:
a. Kau
boleh pulang ke rumah orang tua mu.
b. Pergilah
engkau dari sini, ke mana engkau suka.
c. Kita
berdua sudah tidak ada hubungan lagi.
Mengenai talak kinayah ini,
para ulama tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai akibat hukumnya,
diantaranya pendapat-pendapat yang diungkapkan para ulama seperti halnya Mazhab
Hanbali mereka berpendapat bahwa talak dengan ucapan kinayah sekiranya suami
melafazkan kepada isterinya dengan niat menceraikannya maka jatuh talak. Selain
itu Jumhur Ulama berpendapat bahwa ucapan talak kinayah akan jatuh talaknya
apabila dengan adanya niat.[30]
Talak dengan cara kinayah
tidak jatuh kecuali dengan niat seperti yang diterangkan di atas, kecuali
apabila seorang suami dengan tegas mentalak tetapi ia berkata: saya tidak
berniat dan tidak bermaksud mentalak, maka talaknya tetap jatuh.[31] Apabila
seorang menjatuhkan talak secara kinayah tanpa maksud mentalak maka tidak jatuh
talaknya, karena kinayah memiliki arti ganda (makna talak dan selain talak),
dan yang dapat membedakanya hanya niat dan tujuan.
Ibnu Taimiyah r.a
berpendapat bahwa talak tidak berlaku kecuali dia menghendakinya.[32] Beliau
berargumen bahwa amal perbuatan dalam Islam tidak dinilai kecuali dengan adanya
niat. Misalkan seseorang mengerjakan aktivitas shalat dari takbir sampai salam
tetapi tidak meniatkan untuk shalat, maka shalatnya tidak sah.[33] Contoh
yang lain, seseorang melakukan sahur dan makan ketika maghrib, tetapi dia tidak
niat untuk syiam (puasa), maka amal dia ini tidak dianggap sebagai amalan
syiam. Orang duduk di masjid tanpa niat i'tikaf maka dia tidak bisa disebut
melakukan ibadah i'tikaf.[34]
C. Kesimpulan
Secara etimologi, hakikat
merupakan dari kata haqqa yang berarti tetap. Berarti ditetapkan Pengertian
Hakikat adalah suatu lafas yang digunakan menurut asalnya untuk maksud
tertentu. Pengertian Majaz adalah suatu lafad yang digunakan untuk
menjelaskan suatu lafad pada selain makna yang tersurat di dalam nash atau
teks. Majaz Dari segi pembentukannya, bisa dibedakan menjadi 4
bagian: 1 Adapun tambahan dari susunan kata menerut bentuk yang sebenarnya. 2.
Adanya kekurngan dalam suatu kata dari yang sebenarnya dan kebenaran dari lafas
itu terletak pada yang kurang itu. 3. Mendahulukan dan membelakangkan atau
dalam pengertian ,menukar kedudukan suatu kata. 4. Meminjamkan kata atau isti’arah adalah
menambahkan sesuatu dengan menggunakan (peminjamkan) kata lain.
Untuk itu, pentinglah
kiranya melakukan verifikasi apakah pembicara menggunakan makna majaz atau
hakikat sehingga jelaslah perbedaan keduanya. Dalam mengatahui majaz dan
hakikat dapat dilakukan dengan dua cara; normativitas teks atau istidlāl. Keterkaitan-keterkaitan
yang menjadi syarat penggunaan Hakikat dan Majaz seperti: Adanya
keserupaan, menamakan atau memaknai suatu lafad sesuai, menamakan sesuatu
sesuai dengan takwil, menamakan atau memaknai sesuatu sesuai dengan kekuatan, menjelaskan
maksud suatu keadaan dengan menyebutkan tempatnya, dan menyebutkan sebab dari
suatu hal. Namun dalam beberapa hal tidak digunakan kata bermakna hakikat
dan majaz dalam keadaanantarala lain: Adanya petunjuk penggunaan secara ‘urfi
dalam penggunaan lafaz, Adanya petunjuk lafaz, Adanya petunjuk berupa aturan
dalam pengungkapan suatu ucapan, Adanya petunjuk dari sifat pembicara dan
Adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan.
Sharih adalah lafadz yang
tidak memerlukan penjelasan. Jadi bahwa lafal sharih adalah talak yang
diucapkan dengan tegas yang perkataan tersebut bermaksud dan bertujuan
menjatuhkan talak seperti kata talak atau cerai. Disebutkan oleh Imam Syafi’i
dan segolongan fuqaha Dzahiri Diantaranya lafal sharih adalah talak (cerai),
firaq (pisah), sarah (lepas). Maka apabila seorang suami megucapkan salah satu
dari ketiga kata tersebut maka jatuhlah talak terhadap istrinya. Kinayah
adalah lafadz yang memerlukan penjelasan. Sementara Kinayah pula membawa
maksud kalimah yang secara tidak langsung yang mempunyai dua atau lebih
pengertiannya, seperti: Kau boleh pulang ke rumah orang tua mu. Apabila
seorang menjatuhkan talak secara kinayah tanpa maksud mentalak maka tidak jatuh
talaknya, karena kinayah memiliki arti ganda (makna talak dan selain talak),
dan yang dapat membedakanya hanya niat dan tujuan, misalnya seseorang
mengerjakan aktivitas shalat dari takbir sampai salam tetapi tidak meniatkan
untuk shalat, maka shalatnya tidak sah.
DAFTAR
PUSTAKA
Arufin Miftahul dan A.
Faisal Haq. Ushul Fiqih : Kaidah-kaidah Pentapan Hukum Islam, Cet.
I, Surabaya: Citra Media, 1997.
Bakry, Sidi Nasa, Fiqh dan Ushul
Fiqh, Cet. IV, Jakarta: PT. RajaGrafindo Perseda, 2003.
Bakry, Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, Cet.
IV, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.
Djazuli A dan 1 Nurol Aen, Ushul
Fiqh (Metode Hukum Islam), Cet. 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2000.
Effendi, Satria, Ushul Fiqih, Jakarta:
Kencana, 2008.
Karim, Syafi’i, Fiqih-Ushul
Fiqih, Cet. II, Bandung: Pustaka Satia, 2001.
Syarifudin, Amir, Ushul Fiqih, Jilit
2, Cet. V, Jakatra: Kencana, 2008.
[26] Sidi Nasa Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Cet. IV, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Perseda, 2003, h. 115.
[30] A Djazuli dan 1 Nurol Aen, Ushul Fiqh (Metode Hukum
Islam), Cet. 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2000, h. 412.