Minggu, 18 November 2012

Ushul Fiqh


Pendahuluan
Dalam pandangan Para ulama Ushul Fiqh mengklasifikasi lafaz (kata) dari segi pemakaiannya menjadi dua: hakikat (denotatif) dan majaz (konotatif). Mengenai kata dengan makna hakikat, tidak dipertentangkan lagi keberadaannya dalam Alquran. Kata yang seperti ini paling banyak ditemukan dalam Alquran. Adapun makna majāzi, keberadaannya dalam Alquran masih debatable di kalangan para ulama. Jumhur Ulama berpendapat kata dengan makna majaz terdapat dalam Alquran. Namun, segolongan ulama seperti mazhab ahiriyyah, Ibnu Qāis dari Syafi’iyyah, Ibnu Khuwaiz Mindad dari Malikiyyah, dan sebagainya tidak mengakui keberadaannya dalam Alquran. secara sederhana, hakikat dan sharih adalah kata yang menunjukkan makna asli/jelas, tidak ada indikator yang mendorong untuk menggunakan makna majaz, kināyah, atau tasybīh (yang tidah jelas). Kata tersebut mempunyai makna tegas tanpa dipengaruhi adanya pendahuluan (taqdīm) dan pengakhiran (ta’khīr) dalam susunannya.Dari penjelsan singkat di atas, penulis akan memaparkan pengertian hakikat dan majaz, pembagian majas, cara menentukan lafal hakikat/majaz, ketentuan yang berkaitan hakikiat/majas dan penyebab tidak berlakunya hakikat/majaz serta pengertian shari/kinayah.

    Sharih dan Kinayah
1.        Pengertian Sharih
Sharih adalah lafadz yang tidak memerlukan penjelasan. menurut abdul azhim bin badawi al-khalafi, bahwa yang dimaksud dengan sharih adalah suatu kalimat yang langsung dapat dipahami tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain.[25] 
Jadi bahwa lafal sharih adalah talak yang diucapkan dengan tegas yang perkataan tersebut bermaksud dan bertujuan menjatuhkan talak seperti kata talak atau cerai. Adapun Contoh lafaz yang Sharih diantaranya:
a.           Aku ceraikan kau dengan talak satu.
b.           Aku telah melepaskan (menjatuhkan) talak untuk engkau.
c.           Hari ini aku ceraikan kau
Jika suami melafazkan talak dengan mengunakan kalimah yang "Sharih" seumpama di atas ini, maka talak dikira jatuh walaupun tanpa niat. Hal ini, senada dengan pendapat imam Syafi’i dan Abu Hanifah, beliau berkata bahwa talak sharih tidak membutuhkan niat.[26]  Selain itu, Jumhur Ulama’ sepakat berpendapat bahwa Talak yang sharih ialah lafaz yang jelas dari segi maknanya dan kebiasaannya membawa arti talak. Contohnya, seorang suami berkata kepada isterinya, “Saya ceraikan engkau”.[27]  Lafaz tersebut memberi kesan jatuh talak walaupun tanpa niat.
Sebagaimana pendapat para ulama diatas, bahwa yang dikatakan talak sharih didalam pengucapanya terdapat tiga perkataan seperti halnya yang disebutkan oleh Imam Syafi’i dan segolongan fuqaha Dzahiri. Diantaranya adalah talak (cerai), firaq (pisah), sarah (lepas). Maka apabila seorang suami megucapkan salah satu dari ketiga kata tersebut maka jatuhlah talak terhadap istrinya.[28] 

2.        Pengertian Kinayah
Kinayah adalah lafadz yang memerlukan penjelasan. Menurut Jumhur Ulama  kinayah adalah suatu ucapan talak yang diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas atau melalui sindiran. Kata-kata tersebut dapat dikatakan lain, seperti ucapan suami “pulanglah kamu”.[29]  Sementara Kinayah pula membawa maksud kalimah yang secara tidak langsung yang mempunyai dua atau lebih pengertiannya. Umpamanya jika suami melafazkan kepada isterinya perkataan, sebagai contah kinayah sebagai berikut:
a.         Kau boleh pulang ke rumah orang tua mu.
b.         Pergilah engkau dari sini, ke mana engkau suka.
c.         Kita berdua sudah tidak ada hubungan lagi. 
Mengenai talak kinayah ini, para ulama tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai akibat hukumnya, diantaranya pendapat-pendapat yang diungkapkan para ulama seperti halnya Mazhab Hanbali mereka berpendapat bahwa talak dengan ucapan kinayah sekiranya suami melafazkan kepada isterinya dengan niat menceraikannya maka jatuh talak. Selain itu Jumhur Ulama berpendapat bahwa ucapan talak kinayah akan jatuh talaknya apabila dengan adanya niat.[30] 
Talak dengan cara kinayah tidak jatuh kecuali dengan niat seperti yang diterangkan di atas, kecuali apabila seorang suami dengan tegas mentalak tetapi ia berkata: saya tidak berniat dan tidak bermaksud mentalak, maka talaknya tetap jatuh.[31]  Apabila seorang menjatuhkan talak secara kinayah tanpa maksud mentalak maka tidak jatuh talaknya, karena kinayah memiliki arti ganda (makna talak dan selain talak), dan yang dapat membedakanya hanya niat dan tujuan.
Ibnu Taimiyah r.a berpendapat bahwa talak tidak berlaku kecuali dia menghendakinya.[32]  Beliau berargumen bahwa amal perbuatan dalam Islam tidak dinilai kecuali dengan adanya niat. Misalkan seseorang mengerjakan aktivitas shalat dari takbir sampai salam tetapi tidak meniatkan untuk shalat, maka shalatnya tidak sah.[33]  Contoh yang lain, seseorang melakukan sahur dan makan ketika maghrib, tetapi dia tidak niat untuk syiam (puasa), maka amal dia ini tidak dianggap sebagai amalan syiam. Orang duduk di masjid tanpa niat i'tikaf maka dia tidak bisa disebut melakukan ibadah i'tikaf.[34] 
C.      Kesimpulan
Secara etimologi, hakikat merupakan dari kata haqqa yang berarti tetap. Berarti ditetapkan Pengertian Hakikat adalah suatu lafas yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu. Pengertian Majaz adalah suatu lafad yang digunakan untuk menjelaskan suatu lafad pada selain makna yang tersurat di dalam nash atau teks.  Majaz Dari segi pembentukannya, bisa dibedakan menjadi 4 bagian: 1 Adapun tambahan dari susunan kata menerut bentuk yang sebenarnya. 2. Adanya kekurngan dalam suatu kata dari yang sebenarnya dan kebenaran dari lafas itu terletak pada yang kurang itu. 3. Mendahulukan dan membelakangkan atau dalam pengertian ,menukar kedudukan suatu kata. 4. Meminjamkan kata atau isti’arah adalah menambahkan sesuatu dengan menggunakan (peminjamkan) kata lain.
Untuk itu, pentinglah kiranya melakukan verifikasi apakah pembicara menggunakan makna majaz atau hakikat sehingga jelaslah perbedaan keduanya. Dalam mengatahui majaz dan hakikat dapat dilakukan dengan dua cara; normativitas teks atau istidlāl. Keterkaitan-keterkaitan yang menjadi syarat penggunaan Hakikat dan Majaz seperti: Adanya keserupaan,  menamakan atau memaknai suatu lafad sesuai, menamakan sesuatu sesuai dengan takwil, menamakan atau memaknai sesuatu sesuai dengan kekuatan, menjelaskan maksud suatu keadaan dengan menyebutkan tempatnya, dan menyebutkan sebab dari suatu hal. Namun dalam beberapa hal tidak digunakan kata bermakna hakikat dan majaz dalam keadaanantarala lain: Adanya petunjuk penggunaan secara ‘urfi dalam penggunaan lafaz, Adanya petunjuk lafaz, Adanya petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu ucapan, Adanya petunjuk dari sifat pembicara dan Adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan.  
Sharih adalah lafadz yang tidak memerlukan penjelasan. Jadi bahwa lafal sharih adalah talak yang diucapkan dengan tegas yang perkataan tersebut bermaksud dan bertujuan menjatuhkan talak seperti kata talak atau cerai. Disebutkan oleh Imam Syafi’i dan segolongan fuqaha Dzahiri Diantaranya lafal sharih adalah talak (cerai), firaq (pisah), sarah (lepas). Maka apabila seorang suami megucapkan salah satu dari ketiga kata tersebut maka jatuhlah talak terhadap istrinya. Kinayah adalah lafadz yang memerlukan penjelasan. Sementara Kinayah pula membawa maksud kalimah yang secara tidak langsung yang mempunyai dua atau lebih pengertiannya, seperti: Kau boleh pulang ke rumah orang tua mu. Apabila seorang menjatuhkan talak secara kinayah tanpa maksud mentalak maka tidak jatuh talaknya, karena kinayah memiliki arti ganda (makna talak dan selain talak), dan yang dapat membedakanya hanya niat dan tujuan, misalnya seseorang mengerjakan aktivitas shalat dari takbir sampai salam tetapi tidak meniatkan untuk shalat, maka shalatnya tidak sah.


DAFTAR PUSTAKA  

            Arufin Miftahul dan A. Faisal Haq. Ushul Fiqih : Kaidah-kaidah Pentapan Hukum Islam, Cet. I, Surabaya: Citra Media, 1997.
Bakry, Sidi Nasa, Fiqh dan Ushul Fiqh, Cet. IV, Jakarta: PT. RajaGrafindo Perseda, 2003.
Bakry, Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, Cet. IV, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.
            Djazuli A dan 1 Nurol Aen, Ushul Fiqh (Metode Hukum Islam), Cet. 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
Effendi, Satria, Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana2008.
 Karim, Syafi’i, Fiqih-Ushul Fiqih, Cet. II, Bandung: Pustaka Satia, 2001.
Syarifudin, Amir, Ushul Fiqih, Jilit 2, Cet. V, Jakatra: Kencana, 2008.


[24]  Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih......, h. 153.
[25]  Ibid. 
[26] Sidi Nasa Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Cet. IV, Jakarta: PT. RajaGrafindo Perseda,  2003, h. 115.
[27] Ibid., h. 121.
[28] Ibid.
[29] Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih......, h. 180.
[30]  A Djazuli dan 1 Nurol Aen, Ushul Fiqh (Metode Hukum Islam), Cet. 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000, h. 412.
[31] Ibid., h. 425.
[32]  Sidi Nasa Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh......, h. 131.
[33]  Ibid.
[34]  Ibid., h. 134.

Makalah Tasawuf


KEBEBASAN DAN TANGGUNGJAWAB SERTA HAK DAN KEWAJIBAN

Makalah ini disusun untuk memenuhi syarat pada mata kuliah akhlak tasawuf

Disusun oleh :
Falahul Mualim Yusuf (1112051000087)
M. Hamzah Hasbi (1112051000079)
Rifqi Masruri (1112051000095)


JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2012



Bab I
Pendahuluan

Kebebasan, tanggung jawab, hak, dan kewajiban merupakan nilai kodrat manusia yang diberikan tuhan, hal itu dijadikan sebagai pondasi yang kuat. Dalam kajian akhlak tasawuf memberikan beberapa poin-poin penting dari segi perspektif tasawuf .
Disadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan, baik dari segi isinya, bahasa, analisis dan lain sebagainya. Untuk itu saran, kritik dan perbaikan dari pembaca dengan senang hati akan kami terima, diiringi dengan ucapan terima kasih.
Wassalamualaikum wr.wb.














Jakarta, 8 Oktober 2012

                                                                       

1.      Pengertian kebebasan

      Di antara masalah yang menjadi bahan perdebatan sengit dari sejak dahulu hingga sekarang adalah masalah kebebasan atau kemerdekaan menyalurkan kehendak dan kemauan. Dalam permasalahan ini para ahli teologi terbagi kepada dua kelompok. Pertama kelompok yang berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak bebas dan merdeka untuk melakukan perbuatannya menurut kemauannya sendiri. Kedua kelompok yang berpendapat sebaliknya, manusia tidak memiliki kebebasan untuk melaksanakan perbuatannya sendiri. Mereka dibatasi dan ditentukan oleh Tuhan. Dalam pandangan golongan yang kedua ini manusia tak ubahnya seperti wayang yang mengikuti sepenuhnya kemauan dalang.

Kebebasan sebagaimana dikemukakan Ahmad Charris Zubair adalah terjadi apabila kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh suatu paksaan dari atau keterikatan kepada orang lain. Selain itu kebebasan meliputi segala macam kegiatan manusia, yaitu kegiatan yang disadari, disengaja, dan dilakukan demi suatu tujuan yang selanjutnya disebut tindakan. Namun bersamaan dengan itu manusia juga memiliki keterbatasan atau dipaksa menerima apa adanya. Misalnya keterbatasan dalam menentukan jenis kelaminnya, keterbatasan kesukuan kita, dan sebagainya.

Dilihat dari segi sifatnya, kebebasan terbagi tiga. Pertama, kebebasan  jasmaniah, yaitu kebebasan dalam menggerakan dan mempergunakan anggota badan yang kita miliki. Kedua, kebebasan kehendak (rohaniah), yaitu kebebasan untuk menghendaki sesuatu. Ketiga, kebebasan moral yang dalam arti luas berarti tidak adanya macam-macam ancaman, tekanan, larangan dan lain desakan yang tidak sampai berupa paksaan fisik. Dan dalam arti sempit berarti tidak adanya kewajiban, yaitu kebebasan berbuat apabila terdapat kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak.

Paham adanya kebebasan pada manusia ini sejalan pula dengan isyarat yang diberikan al-Quran. Perhatikan ayat dibawah ini:
È@è%ur ‘,ysø9$# `ÏB óOä3În/§‘ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sã‹ù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3u‹ù=sù 4 !
Artinya: Dan Katakanlah kebenaran datang dari tuhan mu. Siapa yang mau percayalah Ia, siapa yang mau janganlah ia percaya (QS. Al-Kahfi, 18:29)
   Ayat tadi dengan jelas memberi peluang kepada manusia untuk secara bebas  menentukan   tindakannya berdasarkan kemauannya sendiri.


2.      Tanggung Jawab

            Selanjutnya kebebasan sebagaimana disebutkan diatas itu ditantang jika berhadapan dengan kewajiban moral. Sikap moral yang dewasa adalah sikap bertanggung jawab. Tak mungkin ada tanggung tanda ada kebebasan. Disinilah letak hubungan kebebasan dan tanggung jawab. 

Dalam kerangka tanggung jawab ini, kebebasan mengandung arti: (1) Kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri. (2) Kemampuan untuk bertanggung jawab, (3) Kedewasaan manusia, dan (4) Keseluruhan kondisi yang memungkinkan manusia melakukan tujuan hidupnya.

Sejalan dengan adanya kebebasan atau kesengajaan, orang harus bertanggung jawab terhadap tindakannya yang disengaja itu. Ini berarti bahwa ia harus dapat mengatakan dengan jujur kepada kata hati, bahwa tindakannya itu sesuai dengan penerangan dan tuntutan kata hati itu.

Uraian tersebut menunjukkan bahwa tanggung jawab erat kaitannya dengan kesengajaan atau perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran.

3.      Hak

A.    Pengertian dan Macam-macam Hak

Hak Dapat diartikan wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan, memiliki, meninggalkan, mempergunakan atau menuntut sesuatu. Hak juga dapat berarti panggilan kepada kemauan orang lain dengan perantaraan akalnya, perlawanan dengan kekuasaan atau kekuatan fisik untuk mengakui wewenang yang ada pada pihak lain.[1]
Dalam pada itu Poedjawijatna mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hak   ialahsemacam milik, kepunyaan, yang tidak hanya merupakan benda saja, melainkan pula tindakan, pikiran dan hasil pikiran itu. Jika seseorang misalnya mempunyai hak atas sebidang tanah, maka ia berwenang, berkuasa untuk bertindak atau memanfaatkan terhadap miliknya itu, misalnya menjual, memberikan pada orang lain, mengolah dan sebagainya.
Selanjutnya jika seseorang misalnya mempunyai hak mengarang, maka ia dapat berbuat semaunya terhadap hasil karangannya itu dengan cara menjual, menyuruh cetak, menerbitkan dan seterusnya.
Didalam al-Qur’an kita jumpai juga kata al-haqq, namun pengertiannya agak berbeda dengan pengertian hak yang dikemukakan diatas. Jika pengertian hak diatas lebih mengacu kepada semacam hak memiliki, tetapi al-haqq dalam al-Qur’an bukan itu artinya. Kata memiliki yang merupakan terjemahan dari kata hak tersebut diatas dalam bahsa al-Qur’an disebut milik dan orang yang menguasainya disebut malik.
Pengertian al-haqq dalam al-Qur’an sebagaimana dikemukakan al-Raghib al-Asfahni adalah al-muthabaqah wa al-muwafaqah artinya kecocokan, kesesuaian dan kesepakatan, seperti cocoknya kaki pintu sebagai penyangganya.
Dalam perkembangan selanjutnya kata al-haqq dalam al-Qur’an digunakan untuk empat pengertian. Pertama, untuk menunjukkan terhadap pelaku yang mengadakan sesuatu yang mengandung hikamah, seperti adanya Allah disebut sebagai al-haqq karena Dialah yang mengadakan sesuatu yang mengandung hikmah dan nilai bagi kehidupan. Penggunaan al-haqq dalam arti yang demikian dapat dijumpai pada contoh ayat yang berbunyi:        
§NèO (#ÿr–Šâ‘ ’n<Î) «!$# ãNßg9s9öqtB Èd,ysø9$#
       Artinya: Kemudian kembalilah kamu sekalian kepada Allah. Dialah Tuhan mereka yang haq. (QS. Al- An’am,  6:62)
Kedua, kata al-haqq digunakan untuk menunjukkan kepada sesuatu yang diadakan yang mengandung hikmah. Misalnya Allah SWT. menjadikan matahari dan bulan dengan al-haqq, yakni mengandung hikmah bagi kehidupan. Penggunaan kata al-haqq seperti ini dapat dijumpai misalnya pada ayat yang berbunyi
$tB t,n=y{ ª!$# šÏ9ºsŒ žwÎ) Èd,ysø9$$Î/
                 Artinya: Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. (QS. Yunus, 10:5)
Ketiga, al-haqq digunakan untuk menunjukkan keyakinan (i’tiqad) terhadap sesuatu yang cocok dengan jiwanya, seperti keyakinan seseorang terhadap adanya kebangkitan diakhirat, pahala, siksaan, surga dan neraka. Penggunaan kata al-haqq seperti ini dapat dijumpai pada contoh ayat yang berbunyi                                                                                                                                                                                   “y‰ygsù ª!$# šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä $yJÏ9 (#qàÿn=tF÷z$# ÏmŠÏù z`ÏB Èd,ysø9$#     Artinya: Maka Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman terhadap apa yang mereka perselisihkan dari haqq. (QS. Al-Baqarah, 2:213)
Keempat, kata al-haqq digunakan untuk menunjukkan terhadap perbuatan atau ucapan yang dilakukan menurut kadar atau porsi yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan waktu dan tempat. Penggunaan kata al-haqq yang demikian itu sejalan deengan ayat yang berbunyi
Èqs9ur yìt7©?$# ‘,ysø9$# öNèduä!#uq÷dr& ÏNy‰|¡xÿs9 ÝVºuq»yJ¡¡9$# ÞÚö‘F{$#ur[2]
Artinya: Dan seandainya al-haqq itu menuruti hawa nafsunya, maka terjadilah kerusakan bumi dan langit (QS. Al-Mu’minun, 23:71)
Selain itu kata al-haqq dapat berarti upaya mewujudkan keadilan, argumentasi yang kuat, menegakkan syari’at secara sempurna, dan isyarat tentang adanya hari kiamat. Dengan demikian seluruh kata al-haqq terdapat dalam al-Qur’an tidak ada satupun yang mengandung arti hak milik, sebagaimana aarti hak yang umumnya lazim digunakan masyarakat.
Pengertian hak dalam arti memiliki sesuatu dan dapat menggunakan sekehendak hatinya. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-milk. Misalnya pada ayat yang berbunyi
(#rä‹sƒªB$#ur `ÏB ÿ¾ÏmÏRrߊ ZpygÏ9#uä žw šcqà)è=øƒs† $\«ø‹x© öNèdur šcqà)n=øƒä† Ÿwur šcqä3Î=ôJtƒ öNÎgÅ¡àÿRL{ #uŽŸÑ Ÿwur $YèøÿtR Ÿwur tbqä3Î=ôJtƒ $Y?öqtB Ÿwur Zo4qu‹ym Ÿwur #Y‘qà±èS ÇÌÈ
Artinya: Kemudian mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak Kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) suatu kemanfaatanpun dan (juga) tidak Kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan. (QS, al-Furqan, 25:3)
Pada ayat tersebut kata al-milk dihubungkan dengan kemampuan untuk menolak kemudharatan dan  mengambil manfaat.
1.      Macam-macam dan Sumber Hak

Memang ada bermacam-macam hak, tidak sama luas dan kuatnya. Dalam pada itu selalu ada dua faktor yang menyertainya. Pertama faktor yang merupakan hal (obyek) yang dihakiki (dimiliki) yang selanjutnya disebut hak obyektif. Hak ini baik bersifat fisik maupun non fisik. Kedua, faktor orang (subyek) yang berhak, yang berwenang untuk bertindak menurut sifat-sifat itu, yang selanjutnya disebut hak subyektif.

Dalam kajian akhlak, tampaknya hak subyektiflah yang lebih mendapatkan perhatian, yaitu wewenang bukan kekuatan, karena mungkin saja wewenang (hak) itu tak dapat dilaksanakan karena ada kekuatan lain yang menghalanginya.

Dilihat dari segi obyek dan hubungannya dengan akhlak, hak itu secara garis besar dapat dibagi menjadi tujuh bagian, yaitu hak hidup, hak mendapatkan perlakuan hukum, hak mengembangkam keturunan (hak kawin), hak milik, hak mendapatkan nama baik, hak kebebasan berpikir dan hak mendapatkan kebenaran. Semua hak itu tidak dapat diganggu guagat, karena merupakan hak asasi yang secara fitrah telah diberikan Tuhan kepada manusia, karena yang dapat mencabut hak-hak tersebut hanya Tuhan. Selanjutnya jika manusia dihukum, atau dirampas harta bendanya, dijajah dan lain sebagainya, bisa saja dibenarkan jika yang bersangkutan melakukan pelanggaran. Dan hal ini tidak berarti merampas hak orang lain.

Hak asasi manusia itu dalam sejarah dan masyarakat sering diperlakukan secara diskriminatif. Terhadap kelompok yang satu diberikan kebebasan untuk menyatakan pikiran dan melakukan usahanya dibidang materi, sedangkan pada kelompok yang lainnya dibatasi dan tidak diberikan peluang untuk berusaha. Berkenaan dengan ini maka pada tahun 1948 Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengeluarkan pernyataan kedua tentang Hak-hak Asasi Manusia (Declaration of The Human Right). Dalam pernyataan tersebut dikemukakan bahwa hak itu berdasarkan atas kemanusiaan, dan kemanusiaan itu intinya bertumpu pada budi pekerti. Pernyataan hak asasi ini dapat dikatakan merupakan kesadaran umat mannusia terhadap nilai  kemanusiaannya. Dengan demikian adanya pernyataan tersebut memiliki misa pelaksanaan ajaran moral dan akhlak. Dan disinilah letak hubungan pembahasan masalah hak-hak manusia dengan akhlak.

Selanjutnya dalam masyarakat yang teratur baik, hak asasi manusia itu dinyatakan dalam bentuk undang-undang, yang biasanya merupakan aturan yang umum sekali untuk masyarakat tertentu, baik masalah pidana maupun perdata. Bagi bangsa Indonesia misalnya kita memiliki Undang Undang Dasar 1945 yang memuat 16 Bab dan 37 pasal. Isi undang-undang yang berhububungan dengan hak asasi manusia, misalnya hak bernegara, hak bersuara, berusaha, beragama, berpendidikan, perlakuan hukum dan seterusnya. UUD 1945 ini dijiwai nilai-nilai Pancasila yang merupaka jiwa, falsafah, sumber inspirasi dan sumber moral dalam hidup berbangsa dan bernegara. Dengan demikian keberadaan Hak-hak asasi manusia yang tercermin dalam UUD 1945 itu menggambarkan hubungan yang erat antara hak-hak asasi manusia dengan ajaran moral.

4.      KEWAJIBAN

Oleh karena hak itu merupakan wewenang, bukan berwujud kekuatan, maka perlu ada penegak hukum melindungi yang lemah, yaitu orang yang tidak dapat melakukan haknya manakala berhadapan dengan orang lain yang merintangi pelaksanaan haknya.

Selanjutnya karena hak itu merupakan wewenang dan bukan kekuatan, maka ia merupakna tuntutan, dan terhadap orang lain hakitu menimbulkan kewajiban, yaitu kewajiban menghormati terlaksanannya hak-hak orang lain. Dengan cara demikian orang lain pun berbuat yuang sama pada dirinya, dan dengan demikian akan terpeliharalah pelaksanaan hak asasi manusia itu.

Dengan demikian masalah kewajiban memegang peranan penting dalam pelaksanaan hak. Namun perlu ditegaskan disini bahwa kewajiban disinipun bukan merupakan keharusan fisik, tetapi tetap berwajib, yaitu wajib yang berdasarkan kemanusiaan, karena hak yang merupakan sebab timbulnya kewajiban itu juga berdasarkan kemanusiaan. Dengan demikian orang yang tidak memenuhi kewajibannya berarti telah memperkosa kemanusiannya. Sebaliknya orang yang melaksanakan kewajiban berarti telah melaksanakan sikap kemanusiaannya.

Di dalam ajaran Islam, kewajiban ditempatkan sebagai salah satu hukum syara’, yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan akan mendapat siksa.[3] Dengan kata lain bahwa kewajiban dalam  agama berkaitan dengan pelaksanaan hak yang diwajibkan oleh Allah. Melaksanakan shalat 5 waktu membayar zakat bagi orang yang memiliki harta tertentu dan sampai batas nisab, dan berpuasa di bulan Ramadhan misalnya adalah merupakan kewajiban.

5.        HUBUNGAN HAK DAN KEWAJIBAN DENGAN AKHLAK

Sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa yang disebut akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, mendarah daging, sebenarnya dan tulus ikhlas karena Allah. Hubungan dengan hak dapat dilihat pada arti dari hak yaitu sebagai pemilik  yang dapat digunakan oleh seseorang tanpa ada yang dapat menghalanginya. Hak yang demikian itu merupakan bagian dari akhlak, karena akhlak harus dilakukan oleh seseorang sebagai haknya.

Akhlak yang mendarah daging itu kemudian menjadi bagian dari kepribadian seseorang yang dengannya timbul kewajiban untuk melaksanakannya tanpa merasa berat. Sedangkan keadilan sebagaimana telah diuraikan dalam teori pertengahan ternyata merupakan induk akhlak. Dengan terlaksananya hak, kewajiban dan keadilan, maka dengan sendirinya akan mendukung terciptanya perbuatan yang akhlaki. Disinilah letak hubungan fungsional antara hak dan kewajiban dengan akhlak.













Daftar Pustaka

Nata Abuddin, Ahlak Tasawuf, Rajawali press, Jakarta 2010


1 Abudinnata ahlak tasawuf, (jakarta: rajawali press 2010 hlm. 129-133)

[2] Abudinnata ahlak tasawuf, (jakarta: rajawali press 2010 hlm. 133-135)
3. Abudinnata ahlak tasawuf, (jakarta: rajawali press 2010 hlm. 137-143)